Sepotong Roti

dengan segelas taraf hidup

Muhammad Ridho Rizqillah
1 min readOct 21, 2021

Semalam, di pinggir kota yang katanya maju nan jaya. Masih terdapat ‘papan’ yang bobrok, alas yang berkerak, dan setumpuk mimpi yang kian pudar. Lampu jalan yang redup, sejalan dengan semangat hidupnya. Bertanya dirinya kepada dirinya sendiri, sanggupkah besok tetap hidup?

Di balik dinding retak, berdebu, dengan sekali sentuh pun runtuh semua, ya semua, semua kehidupan. Kehidupan sakit, digulung dengan sakitnya ditempa besi ratusan ton di kepala. Sepotong roti diberikan oleh penguasa yang bebas melenggang bangga dengan sepatu hitamnya yang berisik, tapi sayangnya tidak sekeras raungan perut kami. Parfum menyerbak menusuk hidung sampai ke ujung saraf penciuman, merusak dengan baunya yang menyengat bagai bangkai tikus dan kotoran lembu. Tapi tidak tercium sendiri olehnya, apakah ini model parfum terbaru dari pusat kota junjungan semua borjuis?

Katanya ada niat yang menggebu untuk merevolusi dengan surat yang ditulis dengan proses rapat siang malam yang penuh dengan kepenatan suara dengkur. Tidak pula berjalan sampai saat ini, sampai air laut seluruhnya menguap pun, niat itu tetap terkubur dalam-dalam di kuburan harapan rakyat.

Pinggir kota yang tak layak dengan semestinya. Bayangkan, apalagi di pelosok negeri yang bahkan tidak terjamah oleh lampu pijar. Seperti inilah kondisinya.

--

--